<strong>*Oleh Halid Saifullah, SH, MH</strong> <strong>Sejarah</strong> demokrasi Indonesia membuktikan bahwa kedaulatan sejati berada di tangan rakyat. Dari perlawanan melawan kolonialisme, gelombang Reformasi 1998, hingga berbagai demonstrasi saat ini, gerakan massa selalu menjadi suara kolektif ketika kanal politik formal tidak lagi berfungsi. Dalam setiap langkah perjuangan ini, ada pengorbanan yang mewarnai perjalanan panjang bangsa. Martir dalam konteks demokrasi bukan hanya mereka yang gugur di jalanan, tetapi juga sosok-sosok pemberani yang melawan arus, berani bersuara, dan rela mengorbankan kenyamanan pribadi demi kepentingan publik. Pengorbanan mereka memberi legitimasi moral bahwa perjuangan rakyat adalah nyata. Sayangnya, pengorbanan ini sering kali hanya dirayakan secara simbolis, tanpa benar-benar diwujudkan dalam perubahan sistemik yang lebih adil dan demokratis.<!--nextpage--> <strong>Tantangan dan Jalan Berliku Demokrasi Indonesia</strong> Demokrasi Indonesia masih menapaki jalan yang penuh liku. Politik uang, oligarki, dan lemahnya budaya kritik menjadi tantangan serius. Banyak pihak menganggap gerakan massa sebagai ancaman, padahal sejatinya gerakan ini adalah fungsi korektif yang vital dalam menjaga keseimbangan kekuasaan. Tanpa keberanian rakyat untuk bersuara, demokrasi akan merosot menjadi sekadar prosedur, kehilangan substansinya sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan.<!--nextpage--> Oleh karena itu, demokrasi tidak boleh hanya sebatas retorika atau seremoni pemilu lima tahunan. Demokrasi harus terus diperjuangkan melalui keberanian bersuara, solidaritas sosial, serta penghormatan terhadap para martir yang telah mengorbankan jiwa dan raga. Jalan panjang demokrasi Indonesia mungkin penuh liku, tetapi dengan kesadaran kolektif, tujuan luhur bangsa ini, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tetap dapat dicapai.(**)<!--nextpage--> <strong>*Penulis adalah aktivis 98 dan Pemerhati Gerakan Rakyat</strong>